Menggugat Paradigma Beribadah

Hari itu dengan alasan agar terkesan sedang melakukan sebuah aktifitas positif (membaca) aku mengambil sebuah buku dengan judul “Pelatihan Shalat Khusyu’ ; shalat sebagai meditasi tertinggi dalam islam” dan tidak terlintas dalam benakku untuk membacanya secara cermat dan mengambil manfaat daripadanya, seperti yang saya katakan upaya ini hanya untuk mengesankan sebuah kegiatan positif di mata orang orang di rumah, padahal sebenarnya aku hanya ingin menghabiskan pagi itu dengan tertidur dengan seolah olah akibat kelelahan setelah melahap sebuah buku.
Tapi walaupun dengan motivasi yang agak miring, aku kemudian sedikit membaca pengantarnya dan sub sub pokok bahasannya yang kemudian secara perlahan menarik minatku untuk membacanga lebih jauh. Pada awalnya aku mengira buku ini hanya berisikan panduan panduan praktis yang miskin nilai karena sudah kudapatkan jauh sebelumnya. Namun ternyata dugaanku salah karena ternyata buku ini kemudian memaparkan secara filosofis dan sangat mendasar perihal salah satu ibadah yang akhir akhir ini sudah mulai aku remehkan perannya dalam menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaan hidupku. Bab bab awal dari buku ini yang mengkaji sholat dari aspek fungsional sebagai sebuah instrumen pengendalian diri dengan menjelaskan dan merasionalisasikan bagaimana instrumen tersebut bekerja dalam memenuhi fungsinya dalam mencegah kita untuk berbuat keji dan mungkar yang selama ini memang menjadi misteri bagiku akibat berbagai bentuk kemungkaran yang kulakukan sementara aku masih konsisten melaksanakan shalat.
Kajian tentang shalat sebagai praktek meditasi tertinggi yang dapat mengantarkan ruh kita melakukan mi’raj atau perjalanan dalam menjumpai sang Khalik berusaha aku pahami secara radikal dengan mengkait kaitkannya dengan berbagai referensi ayng sebelumnya telah kubaca dan menghubungkannya secara langsung dengan pengalaman pengalaman ruhaniahku khususnya dalam menjalankan ibadah shalat. Setelah mengkaji sholat sebagai bentuk komunikasi paling efektif dengan sang Khalik penuliis kemudian mengantarkan kita pada suatu panduan prakis dengan kiat kiat menggapai kekhusyukan dalam sholat. Namun dari sekian banyak pembahasan yang dipaparkan, aku menaruh perhatian pada dekonsruksi paradigmatik yang disajikan dalam buku ini karena sangat bersentuhan langsung dengan paradigma beribadah yang selama ini kuanut.
Dalam paparannya secara kritis menyoroti paradigma beribadah yang banyak dianut dalam masyarakat muslim dan merupakan doktrin tradisionil yang berakar pada teologi formal tradisionil dengan menganggap berbagai macam ibadah sebagai persembahan kepada sang maha kuasa seolah olah Allah yang membutuhkan berbagai bentuk ibadah yang kita lakukan. Paradigma ini kemudian dinamakan sebagai paradigma theosentris. Dengan paradigma seperti ini maka tidaklah mengherankan ketika banyak diantara kita yang merasa terbebani dengan berbagai ritual peribadatan karena hanya melihatnya sebatas kewajiban dan untuk menghindari murka Allah sebagai penguasa atas diri kita ataupun sebatas apresiasi atas berbagai kenikmatan yang diperoleh dalam kehidupan duniawi dan sebagai investasi untuk kebahagiaan di akhirat kelak. Paradigma seperti ini kemudian disoroti karena terkesan menegasikan kesempurnaan Allah dengan adanya kesan Allah membutuhkan sesuatu dari kita.
Setelah secara kritis menggugat paradigma theosenris tersebut lalu diajukanlah paradigma anhroposesntris dengan prinsip segala macam bentuk ibadah yang dilakukan merupakan sesuatu yang sangat kita perlukan karena secara rill dan langsung berpengaruh pada kebahagiaan hidup kita di dunia ini terlebih nantinya di akhirat. Dengan paradigma seperti ini kita senantiasa dapat memoivasi kita untuk senantiasa beribadah sebagai sebuah kebutuhan kita khususnya kebutuhan ruhani dan berdampak langsung pada kehidupan sosial kita dengan ketenangan jiwa yang diperoleh sehingga dapat menyikapi persoalan persoalan hidup dengan tenang sabar dan terus berusaha mengatasinya. Jadi penegasan bahwa berbagai bentuk ibadah ritual yang kita lakukan mestilah diketahui dari sisi fungsionalnya dalam menyucikan jiwa kita seperti sholat yang secara tegas dikatakan akan dapat mencegah kita dari berbuat mungkar. Secara sekilas mungkin kita akan kesulitan melihat korelasinya ataupun mengetahui bagimana sholat dapat menjalankan fungsi fungsi protektif tersebut terlebih kenyataan yang kita temukan di tengah tengah masyarakat muslim dengan semakin menjamurnya berbagai bentuk kemaksiatan yang justru dilakukan oleh orang orang yang masih melakukan shalat secara konsisten.
Dari sisi inilah kemudian kita berusaha mempelajari bagaimana semestinya shalat yang sesungguhnya dan betul betul dapat menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar. Ketika sholat hanya dilakukan sebatas sebuah ritual fisik dengan sedikit dibumbuhi dengan aktifitas otak kiri dalam melafalkan do’a do’a dan ayat ayat suci tanpa melibatkan diri secara total (totalitas diri) maka dapat dipastikan bahwa shalat tersebut tidak akan mendatangkan kebermanfaatan yang berarti karena tidak sepenuhnya melepaskan jiwa kita untuk betul betul berkomunikasi dengan sang Ilahi. Totalitas diri yang dimaksud tentulah pelibatan segenap eksistensi kita untuk dapat berhubungan langsung dengan sang Ilahi. Ruh kita yang merupakan duta Ilahi ketika ditiupkan pada jasad kita yang merupakan reprentasi kecendrungan kecendrungan duniawi dan naluri naluri kebinatangan akan berusaha mengarahkan kecendrungan kecendrungan tersebut pada sifat sifat Ilahiah. Namun demikian peran peran tersebut tidak akan berjalan dengan baik ketika ruh tersebut terselubungi oleh lumpur lumpur kotor naluri kita atau jika ruh kita terbelenggu dan tidak mendapatkan akses atau tempat yang memungkinkannya terus menjadi panglima atas diri kita dan akan kalah pengaruhnya oleh iblis iblis yang terus menggoda kita untuk memperturutkan hawa nafsu kita dengan berbagai kecendrungan duniawinya dan naluri kebinatangannya. Dalam kerangka seperti inilah sehingga banyak manusia yang terjerumus pada lembah kenistaan dengan berbagai bentuk kekejian dan kemungkaran yang dilakukan akibat lepasnya kendali ruh ilahiah dalam diri kita, dan untuk menghindari hal tersebut maka dibutuhkan upaya upaya yang terus menerus dengan menjaga kedudukan ruh dan senantiasa membangun komunikasi dengan Ilahi agar kita dapat menundukkan hawa nafsu kita, dan disinilah kemudian peran shalat dikatakan dapat mencegah kita dari berbuat keji dan mungkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar