Kehormatan perempuan bukanlah terletak pada selaput keperawanan

Judul artikel diatas merupakan sebuah tema yang diangkat dalam sebuah seminar yang belum lama ini diadakan di makassar, seminar yang menghadirkan Direktur Eksekutif Maps Community Indonesia, Ancha Ardjae Lalilo sebagai pembicara dan diikuti oleh mayoritas mahasiswi dan kalangan perempuan. Dari reportase yang saya baca di harian lokal diberitakan adanya insiden kecil dimana seorang peserta seminar tidak kuasa menahan emosinya, setelah menyimak penjelasan panjang lebar mengenai kehormatan perempuan. Dia memilih keluar dari ruang seminar. Begitu keluar ruangan dia langsung pingsan. Apa yg membuat peserta itu begitu emosional ? dalam artikel ini saya tentunya tidak akan membahas insiden tersebut

Saya tertarik tuk menulis sebuah artikel menyangkut tema yang diangkat tersebut, secara sekilas pernyataan bahwasanya Keperawanan bukanlah Sebuah kehormatan bagi Perempuan oleh banyak kalangan dianggap melabrak doktrin agama maupun adat yang mengakar di masyarakat. Ya.. menguji pernyataan seperti ini bukanlah perkara mudah, akan ada banyak perspektif yang melahirkan pandangan yang berbeda, akan banyak bantahan argumentatif atupun dalil dalil afirmatif tuk menguatkannya

Olehnya itu ketika pertama kali saya membaca reportase seminar tersebut di sebuah Koran lokal, terus terang saya sedikit terusik dengan tema seminar tersebut, tak bisa saya pungkiri sayapun adalah bagian dari kalangan masyarakat yang menganggap bahwa keperawanan adalah sesuatu yang mesti dipagari oleh kaum hawa dengan rambu norma maupun agama dan hanya boleh terenggut melalui pintu normatif pula dan olehnya itu dianggap sebagai symbol kehormatan perempuan. Namun dari penjelasan yang mengemuka pada seminar tersebut, saya dapat menangkap spirit dari pernyataan tersebut lebih pada upaya tuk memotivasi para perempuan yang terpuruk secara psikologis akibat kegagalan mereka memagari keperawanan mereka dimasa lalu dan membuat mereka semakin terjerumus lebih dalam akibat rasa hina dan tak punya harga diri lagi karena terpateri dalam benak mereka kehormatanya sudah terenggut. Contoh kasusnyapun akan begitu banyak kita temukan dalam lingkungan kita. Mulai dari yang terperosok dalam pergaulan bebas, terjebak dalam himpitan ekonomi ataupun mereka yang menjadi korban kekerasan seksual. Dalam konteks seperti ini pikiran sayapun mengajak tuk berkompromi agar menanggalkan keperawanan sebagai simbol kehormatan perempuan. Argumentasinyapun sangat klise bahwa semua manusia bisa khilaf dan berbuat dosa, dan janganlah karena kehilafan di masa lalu meruntuhkan segala-galanya dan menutup ruang aktualisasi seseorang dengan sejuta potensinya.
Memang rasanya kurang bijak jika memvonis seseorang dengan predikat menghinakan karena terenggutnya keperawanannya di luar jalur pernikahan tanpa memberikannya ruang untuk berubah dan bertaubat. Dan rasa2nya teramat kejam jika kita menganggap perempuan yang tidak perawan lagi sebelum menikah tidak layak kita hormati dan pantas tuk diceraikan. Namun di sisi lain fakta2 sosial yang kita temukan juga sangat memiriskan hati, saya yakin kita telah banyak membaca hasil2 riset menyangkut tingkat permisifitas remaja2 indonesia terhadap gaya hidup sex bebas yang semakin melabrak kepatutan etik budaya dan agama. Atau hematnya, saya yakin masing2 kita sudah dapat meneropongnya secara langsung di lingkungan kita dan saya termasuk orang yang berkesimpulan telah terjadi pergeseran nilai yang cukup signifikan dalam pergaulan remaja walaupun untuk kalangnan tertentu pergeseran itu dianggap sebagai tuntutan zaman dan ekspresi kebebasan individu.

Mencermati Modus Pergeseran Nilai

Saya termasuk orang yang sepakat dengan gagasan Foucault tentang relasi kuasa di balik wacana, dengan asumsi dasar ‘tak ada preposisi sosial yg bebas nilai” d, sehingga dengan asumsi itu selalu ada pihak yg berkepentingan mendominasi kebenaran atas kelompok lain melalui internalisasi wacana secara ekstensif dan massif. Meminjam pisau analisis foucault dalam membedah modus pergeseran nilai dalam konteks tema pada artikel ini, saya kemudian merasa harus berhati-hati melakukan kompromi terhadap preposisi2 ataupun wacana sosial yang berpotensi menggeser nilai dasar yg menjadi pijakan awal saya. Menurut pengamatan saya pergeseran nilai itu selalu diawali oleh kompromi kita terhadap fakta2 sosial yang sebenarnya sangat kasuistik, namun kemudian diterima secara perlahan tuk kemudian menggeser nilai lama yang sebenarnya bertentangan. Dalam kerangka itulah kemudian saya berpikir ulang tuk berkompromi dengan preposisi yang mengatakan keperawanan bukanlah kehormatan perempuan.

Saya pernah terlibat perdebatan yang alot dengan seorang kawan lama, sebagai sesama santri yang tumbuh dan banyak belajar bersama, hematnya ketika kami awalnya keluar melanjutkan pendidikan, kami masih sangat sepadan dalam pijakan nilai yang menyangkut adab pergaulan dengan lawan jenis, ya.. memang kami sama2 tumbuh dalam lingkungan pesantren dengan doktrin nilai yang sangat menjaga adab pergaulan dengan lawan jenis dan bahkan menganggap pacaran adalah haram dan merupakan bentuk maksiat. Singkat cerita ketika kami sama2 keluar menghadapi model pergaulan dan pengawasan yang jauh berbeda dengan yg kami dapatkan di pesantren, kompromi2 terhadap tatanan nilai yang kami pegang itupun mulai bergelanyut dalam benak kami (saya memfokuskan kompromi itu pada adab pergaulan dengan lawan jenis) mulai dari hal yg paling kecil sampai pada hal2 yang sangat tabu. Mulai dari berbicara, berduaan, berpegangan tangan ciuman sampai tindakan yang paling tabu sekalipun. Perdebatan alot saya dengan kawan tersebut berpangkal saat dia pertama kali berpacaran, saat itu aku menganggap jika dia sudah melabrak nilai etis yg kami pelajari, kawan sayapun masih dengan sangat lihai membangun argumentasinya tuk membenarkan tindakannya. Bahkan dia tidak menganggap adanya pergeseran nilai itu, dia menganggap apa yg dilakukannya hanya kompromi pada ranah metodologis dan bukan pada nilainya, dan bahkan bagian dari dakwah, aku paling ingat dengan statementnya bahwa dia hanya ingin menjadi imam dan membimbing wanita tersebut. Singkat cerita akupun harus menjadi saksi tindakan sobatku yang tega menganjurkan praktek aborsi pada pacarnya akibat kebablasan dalam berhubungan. Insiden itulah yg kemudian banyak mendorongku melakukan refleksi dan mengamati pergeseran nilai di tengah masyarakat yang semakin meresahkan dalam pandanganku. Tak dapat kupungkiri akupun kerapkali berkompromi dengan situasi. Ketika aku kemudian melakukan pembiaran terhadap langkah sobatku dengan berbagai macam pertimbangan yg dikemukakannya, aku merasa telah berkompromi dengan mengabaikan pijakan nilai yg sebenarnya tidak untuk dinegosiasikan. Dan akupun menjadi saksi bagaimana kawanku tersebut akhirnya menggeser nilai2 yang dulunya sangat teguh diyakininya sebagai prinsip hidup.
Didasarkan pada pengalaman tersebut dan contoh2 kasus lainnya yag saya yakin rekan2 sekalian pun banyak mendapatkannya, maka kita memang harus kritis dengan setiap kompromi yang kita lakukan. Selalu ada kuasa di balik wacana, selalu ada kelompok yang berkepentingan dalam setiap preposisi sosial, sehingga jangan pernah meremehkan adagium adagium sosial yg berpotensi melabrak tatanan sosial kita.
Namun kembali pada tema yang saya angkat pada artikel ini “Kehormatan Perempuan Bukanlah Pada Selaput Keperawanan”. Pernyataan ini seperti saya katakan diawal kerapkali dapat dikompromikan pada situasi tertentu dalam artian dapat diterima pada situasi tertentu namun janganlah dijadikan pijakan secara fatalis yg kemudian melahirkan preposisi “keperawanan bukanlah hal penting yang mesti dijaga oleh kaum hawa”. Karena sekali lagi modus pergeseran nilai itu selalu diawali dengan kompromi kita yg sifatnya kasuistik namun kemudian mengalami generalisasi dan mengganti nilai lama.
Selain itu ada juga kelompok yang sering salah kaprah dan terjebak pada wilayah simbolik, dimana di satu sisi mereka mengaggap keperawanan itu penting tuk dijaga karena menyangkut simbol kehormatan perempuan nantinya di hadapan suami. Hemat saya keperawanan adalah simbol kehormatan perempuan, dan sebagai simbol dia mewakili perilaku terhormat dari subyeknya, dan ketika kita mengatakan perilaku maka cakupannya pun akan sangat luas tidak hanya pada selaput keperawanan saja, tapi juga pada pola pergaulan yang dianut. Sengaja saya menegaskan hal ini karena saya juga rasanya terusik dengan pandangan yang sangat parsial dengan mereduksi nilai kehormatan itu hanya pada selaput keperawanan, sehingga kemudian selama keperawanan itu masih dapat dijaga, maka tak soal dengan perilaku lainnya (terinspirasi dari konsepsi virginitas dalam film virgin), pada kalangan seperti inilah kemudian istilah “petting”, “oral sex” atau hubungan sex yg tidak sampai merusak selaput dara banyak dipraktekkan. Sungguh na’if menurut saya. Dan karena konsepsi seperti inilah kemudian banyak pula muncul gugatan bahwa telah terjadi diskriminasi gender karena yang sering dipersoalkan hanya keperawanan dan sering mengabaikan keperjakaan. Jawaban konyolnya ya.. mungkin karena tak ada selaput keperjakaan…. Juga ungkapan2 provokatif “buat apa juga jaga keperawanan, toh blom tentu nantinya kita dapat perjaka” akan selalu dihembuskan ketika kita terjebak pada wilayah simbolik yang sangat reduktif.
Hemat saya ketika kita terjebak pada wilayah simbolik yang parsial memang akan terkesan diskriminatif, namun saya yakin jika kita ingin mencari sandaran nilai yang benar dan adil dan dilandasi kejujuran, maka kita akan mendapatkan sandaran nilai yang dapat menopang hal tersebut.
Akhirnya setiap kita memang harus punya sikap, punya pijakan nilai yang menjadi acuan kita dalam membenarkan atau mempersalahkan sesuatu, saya yakin kita tumbuh berkembang dengan berbagai asupan nilai dan latar budaya dan agama serta pengetahuan yang menjadi pijakan nilai kita. Pergolakan pemikiran akan senantiasa berkecamuk tuk mereka yang haus akan kebenaran, dan yakinlah dengan kesungguhan, ketulusan dan kejujuran dalam mencari kebenaran sejati pasti kita sampai kepada kebenaran itu. So.. jujurlah sejak dari fikiran…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar